Thursday 30 September 2010

Setangkai Zaitun Bangsa Palestina

Setangkai Zaitun Bangsa Palestina
Sumber: JawaPos, 15 Agustus 2010
Judul Buku: Dahsyatnya Lobi Israel
Judul Asli: The Israel Lobby and US Foreign Policy
Peresensi: Yosephine Maryati
Penulis: John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt
Penerjemah: Alex Trikantjono Widodo
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2010
Tebal: xviii + 732 halaman
Kawasan Timur Tengah tak putus dirundung pergolakan. Bangsa Palestina terus terisolasi di kampung halaman sendiri. Invasi konyol salah rancang yang mahal dan bersimbah darah ke Iraq merupakan bencana strategis Amerika Serikat (AS). Iraq karut-marut dalam perang saudara memilukan setelah Saddam Hussein dimakzulkan. Israel-Palestina makin terperosok ke dalam pusaran konflik. Hamas dan Fatah makin berebut dominasi komunitas Palestina. Iran makin ngotot menguasai siklus senjata pemusnah masal. Syria-Lebanon terus bersengketa dengan Israel soal dataran tinggi Golan. Al Qaidah makin beringas menjadikan AS sasaran agresi.
Bagaimana suatu kelompok kepentingan di AS bisa melembagakan kekerasan di Timur Tengah? Mengapa lobi Yahudi justru membunuh masa depan bangsa Israel? Mengapa alasan moralitas usang tentang Israel malah merusak reputasi AS? Itulah perdebatan utama yang dibahas dengan sangat memikat oleh John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam buku tentang lobi Israel dan kebijakan Timur Tengah pemerintah AS.
Buku duet profesor ilmu politik Universitas Chicago dan profesor hubungan internasional Universitas Harvard ini mengkaji pengaruh kekuatan lobi Israel dalam kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Lobi Israel merupakan koalisi longgar yang berusaha memengaruhi kebijakan politik luar negeri AS supaya oleng ke Israel.
Kelompok kepentingan perkasa itu menginginkan para pemimpin AS memperlakukan Israel seolah-olah negara bagian ke-51. Selain mendorong AS mendukung Israel tanpa syarat, individu-individu dan kelompok-kelompok dalam lobi, misalnya American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC), memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan AS untuk konflik Israel-Palestina, invasi brutal ke Iraq, serta konfrontasi memalukan dengan Syria, Lebanon, dan Iran.
Sang dermawan besar AS memberikan porsi sangat istimewa dalam menyokong Israel. Dukungan melimpah itu sesungguhnya berseberangan dengan kepentingan nasional AS. Juga, membuat dunia Arab dan Islam makin antipati kepada AS, memperlama penderitaan bangsa Arab, serta berbahaya bagi kepentingan jangka panjang Israel. Israel sejak perang dingin berakhir justru menjadi beban strategis AS. Hubungan akrab Washington-Jerusalem membuat kawasan Timur Tengah makin mudah mendidih dan meletus.
Mearsheimer dan Walt, dua ilmuwan politik AS, menguraikan kebijakan AS terhadap Timur Tengah sejak zaman PD II. Awalnya, kebijakan itu muncul dengan alasan minyak bumi. Selanjutnya, kebijakan dimotivasi antikomunisme. Sejalan dengan waktu, hubungan AS dengan Israel tumbuh. Karena itu, AS punya tiga kepentingan strategis di Timur Tengah. Pertama, mempertahankan akses pasokan gas dan minyak bumi. Kedua, menghambat penyebaran nuklir. Sebab, senjata pemusnah masal tersebut bisa memperumit upaya AS dalam menjaga minyak Timur Tengah tetap mengalir. Ketiga, memerangi terorisme.
Biaya menjadi pengacara Israel terus naik, tapi manfaat yang diperoleh AS menurun. Keamanan Israel sesungguhnya bukan kepentingan strategis yang mendesak bagi AS. Andai Israel bangkrut pun, AS tidak akan jatuh dalam bahaya. Sebaliknya, macetnya ekspor minyak dari Teluk Persia bakal berpengaruh terhadap industri dan kesejahteraan AS.
AS sejak Juni 1967 memberikan dukungan diplomatik dan material kepada Israel dengan porsi yang mengerdilkan dukungannya untuk Palestina. Pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Palestina, bahkan oleh Leon Wieseltier, sejarawan simpatisan Israel, disebut sebagai kekeliruan moral dan strategis yang terlewat besar. Situasi Israel saat ini bisa lebih baik andai AS sejak dulu menekan Israel menghentikan pembangunan permukiman di Tepi Barat dan Gaza.
Inilah pilihan yang seharusnya diberikan kepada Israel: mengakhiri pendudukan yang merugikan diri sendiri dan tetap menjadi sekutu dekat AS atau tetap menjadi negara penjajah tanpa melibatkan AS. AS tidak bisa lagi membabi buta menyatakan setia kepada mitra yang tidak memberikan imbalan apa pun. Argumen moral para pen­dukung bahwa Israel adalah negara lemah yang dikelilingi para musuh yang bertekad melumatnya membuat reputasi AS di mata internasional benar-benar bobrok.
Kelompok garis keras pendukung Israel di AS yang getol melobi tidak menyadari bahwa merampas kemerdekaan bangsa Palestina tidak menjadikan Israel aman. Perlawanan musuh-musuh Israel bukan aksi brutal balas dendam. Bukan pula bukti kebencian mendasar kepada bangsa Yahudi seperti antisemitisme yang dulu berjangkit di Eropa.
Tidak ada presiden AS yang mendukung terwujudnya negara kebangsaan Palestina yang berdaulat dan merdeka. Kebijakan AS di Iran sejak 1990-an sangat dipengaruhi keinginan pemerintahan demi pemerintahan yang silih berganti di Israel. Lobi Israel membuat AS-Iran tetap bermusuhan. Dukungan tanpa syarat AS dalam serangan Israel yang menewaskan ribuan penduduk sipil Lebanon pada musim panas 2006 menggerogoti kekuatan pemerintahan pro-Amerika di Beirut dan memperkuat sentimen anti-AS di dunia Arab.
Israel sekarang merupakan negara yang kuat, makmur, dan modern. Negara yang terbentuk menyusul tragedi besar sejarah PD II itu terus menggunakan superioritasnya untuk menduduki sebidang tanah milik bangsa Palestina seraya bersikap sewenang-wenang terhadap Lebanon, Syria, dan Iran. Pendekatan konfrontatif Israel kepada musuh-musuhnya, menurut Mearsheimer dan Walt, mengandung efek bumerang pada masa mendatang. Kini saatnya kebijakan ekspansi Zionis yang gagal di wilayah Palestina ditinggalkan. Mengherankan bila negara adidaya dan superkaya seperti AS bertahan mendukung lobi Israel.
Buku ini sangat berempati kepada dunia Islam, terutama pembelaannya kepada bangsa Palestina. Mearsheimer dan Walt diibaratkan burung merpati dengan paruh menggigit setangkai daun zaitun -simbol optimisme damai dan harapan berdaulat bagi bangsa Palestina. (*)
Yosephine Maryati, Guru SMAN 1 Wonosobo, alumnus MM Unika Soegijapranata Semarang



0 comments:

Post a Comment