Thursday 30 September 2010

KISAH SEORANG PENGAWAS UN

Bermata tapi tak melihat,bertelinga tapi tak mendengar….. Tiba-tiba saya jadi ingat syair lagu milik Bimbo tersebut. Inti dari kalimat itu ialah orang yang seharusnya mampu melihat dan mampu mendengar karena memiliki mata dan telingga. Banyak sebab mengapa orang menjadi buta dan tuli meskipun memiliki panca indera yang utuh. Makna yang lebih dalam lagi yaitu buta tuli soal hati nurani.
Dua hari menjadi pengawas ujian nasional SMA bagi saya sangat makan hati. Segala perasaan sebagai guru menjadi campur aduk,antara yang kasihan melihat beban psikologis anak juga perasaan tanggung jawab profesional sebagai pengawas. Kebetulan saya menjadi pengawas di salah satu SMA swasta. Seperti kebanyakan siswa-siswa di sekolah yang lain,betapa menakutkan dan menegangkan ketika anak IPS sekolah tersebut harus mengerjakan soal matematika. Tahun ini untuk pertama kalinya mata pelajaran matematika menjadi mapel ujian nasional. Banyak siswa IPS yang dahulu memilih jurusan IPS hanya karena menghindari matematika meskipun di program IPS tetap ada sampai kelas XII,namun tahun-tahun sebelumnya tidak diujiankan nasional.
Selama dua jam menjadi pengawas bersama satu pengawas yang lain ,saya sangat menderita. Satu jam pertama saya berusaha mengendalikan perasaan saya yang sedang berkecamuk. Bagaimana mungkin,secara vulgar mereka saling memberikan jawaban meski tipe soal beda A dan B ( kata anak-anak soalnya antara A dan B mirip hanya nomernya beda) mereka dengan cueknya tengok kanan kiri. Kami sudah berusaha memperingatkan tapi seakan mereka tidak peduli pada para pengawas. Kami masih berusaha sabar karena beban psikologis mereka. Namun apakah karena kami memahami beban tersebut justru sikap kami menjadi permisif? Seperti anak kecil yang berbuat kesalahan,kita jarang mau berkata jujur bahwa itu salah. Kita dengan mudah memaafkan mereka karena menyadari bahwa mereka masih kecil. Apakah anak-anak itu minta dikasihani oleh para pengawas dengan membiarkan berbuat seenaknya?
Akhirnya ketika waktu hampir habis,30 menit kami tegas saja. Bukan berarti pengawas diam itu berarti mereka bebas seenaknya. Saya sempat menatap mata salah seorang siswa yang dari awal sibuk cari-cari jawaban. Alhasil malah saya yang gantian dipelotin oleh dia. Saat itu sungguh saya merasa dilema menjadi seorang pengawas ujian. Kami sebagai pengawas pun tidak hilir mudik kesana kemari. Selama satu setengah jam kami duduk manis. Kurang lima menit waktu habis,lembar jawab siswa yang duduk di depan meja guru,masih banyak yang belum diisi. Saya sempat iba karena jelas dia tidak bisa seenaknya seperti teman yang lain meminta jawaban kepada teman. Ketika bel tanda berakhir saya meminta mereka untuk meninggalkan tempat ujian tapi beberapa anak berteriak ”sebentar Buk….” saya berpikir positif bahwa mereka memang butuh waktu untuk menghitamkan jawaban namun di pihak lain kesempatan itu digunakan untuk meminta jawaban secara vulgar. Saya sempat ”gilapen” apa-apaan ini. Akhirnya dengan menepuk-nepuk meja saya menghalau siswa yang sengaja mengambil jawaban teman.
Pulang mengawasi ujian,saya menitikan air mata. Saya tidak mengira kejadian tadi yang disebut ujian nasional. Mengapa anak-anak menyikapi kegalauan dan kekuatiran tidak lulus dengan sikap yang negatif? Mengapa kami para pengawas seakan-akan dihimbau pengertiannya untuk memahami situasi berat ini dengan memberi kelonggaran kepada mereka. Kami melihat sesuatu yang sangat menyakitkan dalam proses belajar namun kami seakan tidak punya power. Kami harus berdamai dengan situasi,kooperatif dengan mereka. Hati nurani saya tersiksa.
Saya tidak menduga,malam harinya saya ditelfon kepala sekolah saya dan diingatkan jangan terlalu serius menjaga ujian. Kalau melihat anak-anak yang saling memberi jawaban,pura-pura tidak tahu saja. Saya cukup kaget karena saya harus berkompromi dengan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani saya. Saya mohon kepala sekolah mencari pengganti pengawas yang sekiranya bisa kooperatif. Tetapi permohonan saya tidak dikabulkan hanya dijanjikan tahun depan saya tidak akan diusulkan jadi pengawas karena kebetulan mapel saya Bahasa Indonesia karena biasanya di tempat kami tidak punya tugas mengawasi. Hanya karena ada beberapa teman yang mengikuri prajabatan maka saya dan dua orang menggantikannya.
Hari kedua,sebelum masuk ke ruangan ,panitia mengingatkan kepada para pengawas untuk tidak terlalu galak. Sejak tadi malam saya menduga pasti panitia mendapatkan laporan anak-anak(meski belum tentu benar laporan mereka) dan menghubungi kepala sekolah saya. Saya memaksakan diri datang meski setengah hati mengingat perintah kepala sekolah saya untuk menjaga hubungan dengan sekolah lain. Saat briefing ,para pengawas dimohon kerelaannya untuk menciptakan suasana sejuk ,mbok yang familiar dengan anak-anak. Kasihan anak-anak yang dapat pengawas yang sungguh-sungguh bekerja,ketika mengatakan hal itu panitia tersebut sebenarnya sambil guyon tapi bagi saya sangat menyakitkan hati.
Saya heran dengan pernyataan itu, artinya ketika pengawas bekerja sesuai ketentuan malah dianggap merugikan anak-anak. Saya jadi apatis,percuma juga kalau saya ingin menjelaskan kepada panitia situasi yang terjadi kemarin karena menurut saya mereka tidak butuh argumen saya,yang mereka butuhkan ya
guru-guru yang kooperatif dan krompromis.

Hari kedua saya lalui tanpa kesan karena saya menjadi begitu cuek jadi pengawas. Teman pengawas yang lain juga banyak yang merasakan seperti saya,sikap mereka ”porah-porah” artinya terserah aja deh.. Ternyata anak-anak tidak hanya saling ngobrol,mereka sungguh tidak punya malu lagi. Bahkan sobekan kertas saling dilempar. Gambaran tentang pendidikan di Indonesia tergambar sangat jelas di hadapan saya. Mengapa yang namanya ujian nasional mengajari orang bersikap tidak jujur. Kepanikan tidak hanya dirasakan murid tetapi guru sehingga guru pun menjadi begitu tegang. Akibatnya menyerah kalah dengan membiarkan dan memberi kelonggaran anak-anak saling memberi jawaban. Kasihan,biarkan saja…..
Beberapa tahun yang lalu di salah satu SMA pinggiran di kota saya,mobil milik pengawas ujian sengaja dirusak oleh anak-anak yang merasa dirugikan karena tidak bisa minta jawaban teman gara-gara diawasi oleh pemilik mobil tersebut. Kekanak-kanakan dan sungguh tidak dewasa,ironis sekali. Mengapa guru-guru menjadi mudah menyerah, dan gentar dengan sikap anak-anak yang cenderung anarkis? Kadang kesannya guru jadi cari amannya sendiri dengan berkompromi membiarkan segala tingkah polah anak-anak ketika ujian. Sungguh dilematis menjadi pengawas ujian nasional…
Salam,
y. maryati
wonosobo


0 comments:

Post a Comment